Seribu Puisi Cinta

4 komentar

Aku memanggilnya bapak. Lelaki yang telah menemani hidupku di dunia selama 30 tahun terakhir ini dengan tiga buah hati kami yang telah hidup bersama masing-masing keluarga kecil mereka di luar kota. Tidak satupun yang kuketahui tentang beliau saat tiba-tiba ayah dan ibu menanyakan kesanggupanku untuk membina rumah tangga di usia muda, 20 tahun kala itu.
Saat aku berkutat dengan kesibukan kuliah, organisasi, masih harus ditambah lagi dengan mengatur waktu karena aku sedang berlatih menulis, cita-citaku adalah menjadi penulis profesional yang berbagi ilmu dalam goresan pena. Itulah mengapa aku mengambil sastra. Haruskah aku menerima pinangan lelaki yang usianya terpaut 10 tahun diatasku? yang pastinya akan menuntut waktuku untuk melayani sepenuhnya.
Akhirnya kujawab iya, kalian tahu kenapa? Karena dia seorang penulis yang merayuku dengan 1000 puisi cinta jika aku menerimanya. Empat tahun setelah pernikahan kami, dia menuntaskan janjinya.
Uhuuk.. Uhukkk...
Jemarinya yang kurus gemetar memegang cangkir kopi yang mulai mendingin, cairan pekat mengotori baju, tangan, lantai dan kertas yang berserakan di atas meja. Kuambil alih cangkir ditangannya, mengelapi tangan beliau dengan kain bersih juga baju, setelah itu kutuntun ia untuk mengganti pakaian di kamar.
"Kau memperlakukanku layaknya anak kecil yang sudah tidak bisa melakukan apa pun"
Bapak mudah sekali emosi sejak karya terakhirnya best seller dua tahun lalu. Sehabis itu ia merasa tak memiliki ide untuk menghasilkan karya kembali. Sesuatu yang begitu kutakutkan adalah hal yang terjadi pada Ernest Hemingway setelah novel legendarisnya "The Old Man and The Sea" terlahir, bapak tidak boleh melakukan hal rendah semacam itu. Aku pun tak akan sanggup jika ditinggalkan dengan cara yang begitu Tuhan benci, bunuh diri.
Tertatih bapak menuju kamar, segera kususul untuk memilihkan baju ganti.
"Sudah kubilang jangan membantuku", baju ditanganku terlempar ke atas kasur.
Susah payah bapak mengganti baju, kupungut baju kotor yang tergeletak di lantai. "Bapak mau melanjutkan menulis atau beristirahat?", selembut mungkin cara penyampaianku agar ia tak tersinggung.
"Aku mau tidur, kau keluar sana"
Bapak kembali menyentakkan tanganku kala ingin kututupi tubuhnya dengan selimut, kutinggalkan ia dengan senyum tulus, semoga beliau menyadari bahwa karya Tuhan yang setia di sampingnya ini telah ia menangkan hatinya.
Kubersihkan ruang tamu yang masih berantakan tadi. Hingga tangan berkerut itu menepuk pundakku, aroma tubuh yang selalu kurindu memenuhi rongga dada, menahan setiap kata yang ingin terucap agar kesempatan bapak menyampaikan maksud hatinya tak terpotong.
"Sudikah kiranya adinda membaca ulang puisi ke 789 untukku sekarang?"
Ahh... Bapak, ia tetap saja manis.
Ciani Limaran
Haloo... selamat bertualang bersama memo-memo yang tersaji dari sudut pandang seorang muslimah.

Related Posts

4 komentar

Posting Komentar